(19/12) www.ibuasik.com - Apa yang terlintas ketika disebut perempuan sebagai kepala rumah tangga? Status janda dan stigma masyarakat sekaligus melekat padanya. Ibu Nani Zulminarni, seorang inovator sosial yang berbagi pengalamannya di materi ke-empat hari ketiga Konferensi Ibu Pembaharu ini membawakan tema materi Aku Berkarya, Aku Berdaya.


Trennya dari 1985 ke tahun 2019 terjadi kenaikan 0.01% jumlah perempuan yang menjadi kepala keluarga. Meski terlihat kecil angka ini sangat banyak jika dihitung dalam skala nyata di masyarakat. Pemerintah mengartikan perempuan kepala keluarga adalah sebatas janda. Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) memperluas artinya yakni perempuan yang terpaksa mengambil tanggung jawab sebagai kepala keluarga karena suami sakit, suami jauh, bercerai, ditelantarkan dst.


Ada beberapa klaster masalah yang dihadapi perempuan kepala keluarga: ekonomi (kemiskinan), psikologis (kesendirian), juga stigma masyarakat.


Bu Nani sudah memulai gerakan ini sejak 2000-2001 atau sekitar 20 tahun lalu, berupaya mengenalkan entry point melalui pemberdayaan ekonomi perempuan dengan menghimpun kekuatan para ibu, membentuk komunitas mengembangkan kegiatan simpan pinjam menjadi sebuah koperasi yang bisa membuat para perempuan lebih mandiri. Kedua, Ibu Nani beserta gerakan sosialnya melihat bahwa perempuan adalah produsen yang bisa membuat menghasilkan apa saja namun karena perdagangan global maka perempuan cenderung menjadi konsumen. Nilai inilah yang coba dikembalikan oleh Bu Nani dalam PEKKA untuk memberdayakan diri sehingga diharapkan perempuan bisa membentuk pasarnya sendiri tanpa mengeksploitasi keunikan perempuan tersebut.


Semakin kesini usia perempuan kepala keluarga trend nya berubah menjadi rentang usia 25-40 tahun akibat perceraian. Tersebar di 34 provensi, 150 kabupaten karena memang pengorganisasian di desa dalam himpunan/serikat PEKKA. Diawali dengan door to door, ngobrol bercerita tentang kisah kehidupan lalu setelah terbentuk 10 orang minimal maka mulai digerakan. Banyak para perempuan kepala keluarga yang sebenarnya meski pendidikan rendah, ekonomi kurang tetapi memiliki kepemimpinan, mampu mengorganisasi kelompok. Inilah yang coba diberdayakan bersama.


Dari koperasi PEKKA gerakan pemberdayaan ekonomi perempuan ini lalu berlanjut berkembang menjadi mart, dengan semangat bahwa kebutuhan konsumsi keluarga haruslah dibeli dan diproduksi dari hasil karya para perempuan. Para anggota akhirnya menerima SHU dan merasakan bahwa mereka bisa berdaya dengan kekuatan dan potensi bersama para perempuan kepala keluarga.


Perempuan kepala keluarga itu invisible tidak tertulis datanya di pemerintah. Maka inilah alasan kuat gerakan sosial Bu Nani lahir, mereka yang sebagian besar anak yatim yang terancam kemiskinan, dengan berbasis data bekerjasama dengan lembaga riset yang akuntabel mereka menyuarakan gerakannya.


Dari segi kemiskinan para perempuan kepala keluarga ini adalah masalah nyata karena tantangan ekonomi bertemu dengan banyak stigma di masyarakat. Ibu Nani berusaha mengganti mental hanya memberi bantuan langsung dengan kekuatan dari dalam ibu-ibu yang berserikat. Lalu diakumulasi wilayah yang diwakili oleh ibu-ibu di desa.


Untuk berbicara ke pemerintah yang diperlukan selain data adalah anekdotal studi kasus juga hasil solusi yang sudah mulai ditawarkan. Banyak gerakan inovasi sosial tidak terkenal secara nasional namun lebih ke grass root masyarakat.


Roda perputaran komunitas bersumber dari swadaya para ibu anggotanya yang menabung. Menabung itu sekaligus melatih kebiasaan para ibu untuk mengelola keuangan, berpikir dua kali untuk membelanjakan konsumsinya dengan lebih bijak. Dengan swadaya modal tidak berdasarkan pinjaman, dengan sistem menabung dan SHU maka para anggota tidak terjebak pada hutang untuk mulai usaha dan tidak terperangkap pada konsumsi berlebih.


Perempuan yang tidak berdaya juang akan menjadi lemah, padahal perempuan punya banyak potensi kebermanfaatan. Bu Nani mencoba menggali potensi ini dengan bertanya pada ibu-ibu anggotanya terkait contoh resiliensi. Ini jadi titik awal perempuan bisa bangkit lagi dari keterpurukan atau ketergantungan pada suami. Perempuan dapat menunjukkan bahwa pengalaman hiduplah yang harus menjadi semangat menyambung hidup. Para ibu juga diperlihatkan kisah heroik para perempuan Aceh yang juga berdaya juang dipadankan dengan perjuangan perempuan menghadapi hambatan lain dalam konteks yang berbeda agar tidak selalu mengeluh.


Diakhir pemaparan, Bu Nani berpesan bahwa pengalaman perempuan harus dijadikan sumber pengetahuan yang tidak terbatas, jadi pelajaran kehidupan karena sejatinya belajar itu adalah proses sepanjang hayat. Belajar bersama jauh lebih baik daripada belajar sendiri. Sekali lagi ASIK diingatkan bahwa keterbatasan, kemalangan, hambatan bahkan yang dialami perempuan yang membuat mereka terpaksa jadi kepala keluarga tidak menjadi alasan bagi perempuan untuk tidak bahagia, bertumbuh dan berkarya.