#3 CARE-Culture

23 Juni 2022

Pekan kedua di akhir bulan Juni (23/6) para leader di DIWA kohort Capacity Building Program memasuki materi ke-3 yakni Culture. Tidak kurang dari dua puluh lima fellow mengikuti sesi zoom berdurasi dua jam tersebut. Masih tetap di bawah pendampingan Haraya Coaching bersama Jennifer Horn dan Kirztin Leigh L. Pareja yang keduanya merupakan Certified Transformational Coach di Haraya.


Pembahasan culture di sini akan kita persempit menjadi konteks budaya organisasi. Apa yang pertama kali terlintas ketika disebut budaya (organisasi)? Mungkin akan tercetus kata norma, nilai, kebiasaan, respek, peraturan, dll. Dalam framework organisasi akan lebih baik ketika culture itu tidak dipaksakan namun lahir karena adanya kesepahaman (common understanding) yang tercipta dari bahasa umum, kebiasaan yang konsisten serta memberi perhatian pada hasil dengan mengukuhkan nilai yang ada dalam organisasi.


Nilai, norma atau budaya dalam organisasi tidak terbatas bagaimana suatu sistem organisasi bekerja namun bagaimana atmosfer, cara komunikasi, cara mengambil peran, cara mengambil keputusan, kebiasaan dll itu menjadi darah daging dari tim atau organisasi. Tidak secara instan bisa langsung terjadi dan melekat dalam anggota tim namun lahir dari proses, dipraktikkan dalam setiap aktivitas tim.


Jenn menjelaskan mengenai interconnected triangle yang menggambarkan proses bagaimana common understanding tercipta dalam organisasi. Jika sudah ada kesepahaman umum ini maka berarti nilai norma sudah jadi budaya organisasi karena masing-masing tim member sudah paham. Prosesnya tentu diinisiasi oleh para leader, seperti menginspirasi, mengintegrasi serta melibatkan diri terhadap nilai, norma, kebiasaan yang ingin dibangun.


Jika tim melihat inspirasi dari leadernya, lambat laun akan terbangun keamanan psikologis, yakni suatu kondisi siap memberi dan menerima feedback ataupun terbangunnya kepercayaan atau trust di lingkar dalam organisasi. Awalnya beri izin pada setiap anggota tim untuk bisa mengekspresikan diri baik bertanya menyesuaikan diri dll, seiring dengan hal tersebut respect akan tercipta, maka terbentuklah perasaan terajak (inclusive safety), lebih lanjut ketika anggota tim dibenturkan pada budaya organisasi yang sehat mereka akan merasa aman untuk senantiasa belajar atau bereksplorasi dalam aktivitas tim (learning safety), lalu berlanjut menjadi tahapan contributor safety, ketika anggota tim sudah merasa nyaman mengambil peran atau bahkan memikul tanggung jawab organisasi. Konsekuensi logis ini juga berujung pada tahapan matangnya budaya tim, yakni challenger safety, kondisi ketika organisasi merasa aman tidak terhakimi ketika bahkan mereka menantang diri untuk melakukan hal yang lebih dari biasanya.


Sampai di mana kondisi tim kita, baik di ASIK maupun di tim Ibu Pembaharu lainnya? Nantikan lanjutan perjalanan belajar di DIWA ini ya agar bisa senantiasa bisa ikut bersama merefleksikan diri.


(Fatimah Azzahra)